Socrates adalah anak seorang pemahat patung dari Atena. Meskipun dia mempelajari perdagangan dari ayahnya dan mempraktikkannya di masa-masa awal kedewasaannya, dia akhirnya meninggalkannya untuk mengabdikan dirinya pada studi tentang philosophi, dimana dia memiliki bakatnya secara alami. Secara pribadi, ia jauh dari memenuhi standar keindahan orang-orang Atena yang ideal, bertubuh pendek, gemuk, mata juling, hidungnya menengadah, mulutnya besar, dan bibirnya tebal. Kehidupan rumah-tangganya tidak membahagiakan, istrinya, Xantippe, orang yang sangat terkenal cerewet. Kegagalan untuk menyediakan kesejahteraan secara material untuk keluarganya, meskipun ini cukup alami pada seorang pria yang menganggap semua hal-hal materi tidak penting, pasti sangat menguji kesabaran istrinya. Tapi Socrates menanggung omelan istrinya dengan penuh kepasrahan. Memang, ia tampaknya menganggapnya sebagai peluang pelengkap untuk mempraktekkan filsafat kesabaran yang ia ajarkan. [Baca juga: Tiga Tes dari Socrates tentang Gosip]
Socrates percaya bahwa ia memiliki panggilan ilahi untuk "meyakinkan orang-orang yang tidak tahu dan sering melakukan kesalahan karena ketidaktahuan mereka untuk mendapatkan pengetahuan, dan dengan demikian meningkatkan pembangunan intelektual dan moral mereka." Seperti banyak filsuf lainnya, ia menghabiskan waktunya di jalan-jalan, pasar, dan tempat umum lainnya, berdiskusi dengan setiap orang yang mendengarkannya atau berbicara dengannya. Cara mengajar seperti ini adalah hal yang umum di Athena, dan ia tidak pernah kekurangan pendengar. Seluruh suasana kota klasik itu dipenuhi dengan semangat aktivitas intelektual dan diskusi filosofis. Socrates tidak mengajarkan berbagai macam ajaran yang baik atau positif, tetapi me-asumsikan ketidaktahuan dirinya untuk meyakinkan orang lain tentang ketidaktahuan mereka. Dengan serangkaian pertanyaan dia akan membawa murid-muridnya atau lawan-lawannya (dalam diskusi) ke dalam suatu penerimaan yang akhirnya membentuk kebenaran yang sudah dilihat Socrates di awal. Hal ini dikenal sebagai "Metode Socrates," atau metode dialektika, dan bentuk pengajaran induktif ini adalah suatu kontribusi yang sangat penting bagi pendidikan.
Meskipun Socrates tidak meninggalkan tulisan, murid-muridnya yang hebat, yaitu Xenophon dan Plato, telah memberikan pada dunia catatan penuh tentang ajarannya [Baca juga: Plato Sang Pencetus Asal-usul Skema Pendidikan Yang Sistematis]. Plato berbicara dalam pengertian tertinggi tentang karakter moralnya, dan menyatakan bahwa "dia bukan dari dunia ini." Xenophon juga menambahkan testimoninya dengan kata-kata berikut ini: "Tidak ada seorang pun yang pernah mengetahui perbuatannya atau perkataanya tentang sesuatu yang duniawi (profane) atau yang cela. "Socrates percaya akan yang Mahatinggi, Pencipta alam semesta yang cerdas. Dia juga percaya pada keabadian jiwa. Ajaran-ajaran ini sangat bertentangan dengan politeisme Yunani, agama yang berlaku dari orang-orang Athena, dan mereka membuktikan bahwa dia telah jauh di depan eranya di mana dia tinggal. Meskipun ia tidak mendirikan sekolah apapun, tetapi Socrates pasti selalu digolongkan sebagai salah satu pemikir dan guru terbesar di dunia.
Dalam kematiannya ia sepenuhnya mencontohkan kebenaran filsafatnya sendiri. Dia dituduh merusak para pemuda dan menyangkal dewa-dewa, dan dihukum mati dengan minum secangkir hemlock (minuman yang terbuat dari tanaman yang sangat beracun). Dia dengan tenang menyerahkan kepada takdirnya, menolak untuk memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri. Menurut catatan yang diberikan Plato dalam "Phaedo", ia menghabiskan jam-jam terakhirnya dengan berdiskusi dengan teman-teman yang hadir yang mengajukan pertanyaan tentang keabadaian jiwa.
Link terkait:
Link terkait:
Comments