Bagi para manager, istilah BPM (Business Performance Management) bukanlah istilah yang asing. BPM adalah hal yang sudah sangat umum dipraktikkan di banyak perusahaan sebagai piranti bagi para manager untuk membuat berbagai strategi, inisiatif, rencana bisnis, dan memonitor kinerja bisnis. Ada banyak methodologi BPM yang diterapkan dalam dunia bisnis sejak sekitar 30-40 tahun yang lalu. Untuk saat ini, mungkin yang paling populer dan paling banyak diterapkan oleh dunia bisnis adalah Balanced Scorecards (BSC). Namun, sudahkah para manager mengetahui 8 hal berikut di seputar BPM? Bila belum, mungkin post artikel dibawah ini perlu dibaca ...:)
1. Hal yang sama tetapi nama/istilah yang berbeda-beda
Dalam literatur bisnis, performance management memiliki sejumlah nama yang berbeda-beda, contohnya Corporate Performance Management (CPM), Enterprise Performance Management (EPM), Strategic Enterprise Management (SEM), dan Business Performance Management (BPM).
- CPM pertama kali diperkenalkan oleh Gartner, suatu perusahaan market analyst (gartner.com).
- EPM adalah istilah yang ditawarkan dan dikaitkan dengan Oracle’s PeopleSoft.
- SEM adalah istilah yang digunakan oleh SAP (sap.com).
2. Kebingungan BPM (Business Performance Management) vs BI (Business Intelligence)
Ketika BPM pertama kali diperkenalkan sebagai suatu konsep terpisah, ada suatu kebingungan mengenai perbedaan antara BPM dan BI. Apakah BPM adalah istilah baru untuk konsep yang sama? Apakah BPM adalah generasi berikutnya dari BI, atau apakah ada perbedaan substansial diantara keduanya? Kebingungan tersebut masih bertahan hingga kini karena alasan-alasan berikut:
- BPM dipromosikan dan dijual oleh perusahaan-perusahaan yang juga menjual berbagai perangkat software dan tools BI.
- BI telah berkembang sehingga banyak perbedaan awal diantara keduanya yang tidak lagi kelihatan (e.g. BI sudah terbiasa berfokus pada lingkup departmental daripada project dengan lingkup enterprise (lingkup holding, korporat, atau grup).
- BI adalah elemen penting dalam BPM
3. Banyaknya kegagalan eksekusi strategi dan penyebab-penyebabnya
Dari survei yang dilakukan oleh Monitor Group (Kaplan and Norton, 2008) terhadap para eksekutif senior dan dari Conference Board (2008) menunjukkan bahwa “eksekusi strategi” sebagai prioritas nomor 1 para eksekutif. Hal ini menjadi relevan dengan statistik dari Palladium Group (Norton, 2007) yang menyatakan bahwa 90 persen organisasi gagal megeksekusi strateginya dengan baik. Banyak alasan yang bervariasi terhadap “strategy gap” ini, namun banyak kajian yang menunjukkan dengan tepat satu dari empat alasan berikut:
- Komunikasi. Di banyak organisasi, hanya sebagian kecil karyawan saja yang paham mengenai strategi organisasi. Palladium Group (Norton, 2007) menunjukkan angka kurang dari 10 persen. Sebaliknya, adalah hal yang sulit, atau bahkan tidak mungkin, bagi para karyawan megambil keputusan dan tindakan yang selaras dengan rencana strategis bila mereka tidak pernah melihat atau mendengar rencana strategis tersebut. Sebaliknya, bahkan bila rencana tersebut dikomunikasikan, strategi tersebut seringkali kurang ‘kejelasan’, sehingga tak seorangpun yakin apakah tindakannya sejalan atau menyimpang dari rencana strategis tadi.
- Keselarasan rewards dan insentif. Mengkaitkan antara upah terhadap kinerja adalah hal yang sangat penting supaya eksekusi berhasil. Namun demikian, rencana mengenai insentif seringkali dikaitkan dengan perolehan finansial jangka pendek, tidak dikaitkan dengan rencana strategis atau bahkan inisiatif strategis (strategic initiatives) yang diartikulasikan dalam rencana operasional. Memaksimalkan keuntungan jangka pendek akan mengakibatkan kurangnya pembuatan keputusan yang rasional.
- Fokus. Manajemen seringkali meluangkan waktu di bagian pinggir isu-isu utama dibandingkan dengan berkonsentrasi ke bagian-bagian inti itu sendiri. Berjam-jam bisa dihabiskan hanya untuk berdebat mengenai hal-hal tentang detil item suatu budget, dengan sedikit perhatian pada strategi, kaitan antara rencana finansial dengan strategi, atau asumsi-asumsi yang mendasari kaitan tersebut. Palladium Group (Norton, 2007) menunjukkan bahwa di banyak organisasi 85 persen para manajer menghabiskan waktu kurang dari 1 jam per bulan mendiskusikan mengenai strategi.
- Resources. Apabila inisiatif strategis tidak didanai dan diberikan resources dengan benar, kegagalan bisa dipastikan di depan mata. Palladium group (Norton, 2007) menemukan bahwa kurang dari 40 persen organisasi mengalokasikan budget mereka ke rencana strategis.
4. Selalu optimis dengan berbagai project meskipun banyak project yang gagal
Kebanyakan perusahaan melakukan pendekatan terhadap berbagai project-project baru tersebut dengan semangat optimisme dibandingkan dengan objektivitasnya, sehingga cenderung mengabaikan fakta bahwa project-project dan usaha baru seringkali banyak yang gagal. Apakah penyebab kemungkinan kegagalannya? Hal tersebut tergantung dari jenis project-nya. Film-film Hollywood memiliki peluang gagal sebesar 60%. Hal yang sama juga terjadi pada merger dan akuisisi perusahaan. Berbagai project TI memiliki angka kegagalan 70%. Untuk berbagai produk makanan baru angka kegagalannya sebesar 80%. Untuk produk-produk farmasi bahkan lebih tinggi lagi yaitu sekitar 90%. Secara keseluruhan, angka kegagalan bagi kebanyakan project-project baru berkisar antara 60 dan 80 persen.
5. Beberapa temuan Saxon Group (Axson, 2007) tentang performance management
Hanya 20 persen organisasi memanfaatkan sistem performance management yang terintegrasi, meskipun demikian ini merupakan kenaikan sebesar 10 persen dari 5 tahun sebelumnya. Kurang dari 3 diantara 10 perusahaan membuat perencanaan-perencanaan yang secara jelas mengidentifikasi hasil-hasil yang diinginkan dari berbagai project dan inisiatif. Selebihnya, mereka berfokus pada hal-hal yang salah. Rencana-rencana finansial tidak mencantumkan biaya yang diinginkan dan manfaat-manfaat dari setiap inisiatif dan tidak mengidentifikasi investasi total. Rencana-rencana taktis gagal menjelaskan inisiatif-inisiatif besar yang dilakukan. Lebih dari 75 persen informasi yang dilaporkan ke manajemen adalah informasi lama dan berfokus ke internal; kurang dari 25 persen adalah prediksi tentang masa mendatang atau berfokus pada marketplace. Knowledge worker rata-rata meluangkan kurang dari 20 persen dari waktunya berfokus pada apa yang disebut sebagai tugas-tugas yang mendukung keputusan dan menganalisa mengenai value yang lebih tinggi. Tugas-tugas dasar seperti menyusun dan mem-validasi data yang diperlukan bagi tugas-tugas yang bernilai lebih tinggi memakan kebanyakan waktu dari knowledge worker.
6. Para eksekutif bingung dengan makna 'balance' dalam Balanced Scorecards (BSC)
Setiap tahun sejak 1993 Bain & Company (Rigby and Bilodeau, 2009) telah melakukan survey ke berbagai eksekutif internasional dengan jangkauan yang sangat luas untuk menentukan tool-tool manajemen manakah yang paling banyak digunakan. Hasil survey pada tahun 2008 didasarkan pada lebih dari 1400 eksekutif. Menurut survey tersebut, 53 persen perusahaan menunjukkan bahwa mereka menggunakan Balanced Scorecards (BSC). Dalam kebanyakan survey semacam ini, ketika para eksekutif yang sama diminta untuk menjelaskan BSC mereka, rupanya ada suatu kebingungan mengenai apa yang dimaksud dengan “balance”.
7. Rabun Keuangan, beban, dan ketidakseimbangan dalam pengukuran adalah problem utama dalam sistem penilaian kinerja
Kelemahan dengan penggunaan data finansial sebagai inti sistem pengukuran kinerja sudah diketahui banyak orang. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut paling banyak disebut adalah:
- Ukuran-ukuran finansial biasanya dilaporkan berdasarkan struktur organisasi (misal, pengeluaran bagian research and development) dan bukan berdasarkan proses yang menghasilkannya.
- Ukuran-ukuran finansial adalah ‘lagging indicators’ (data yang ketinggalan), menunjukkan apa yang telah terjadi lebih dulu, bukan ‘kenapa’ itu terjadi atau apa yang mungkin terjadi di masa mendatang. Ukuran-ukuran finansial (misal, overhead administrative) seringkali berupa hasil dari alokasi-alokasi yang tidak terkait dengan proses-proses yang menghasilkannya.
- Ukuran-ukuran finansial berfokus pada jangka pendek dan memberikan sedikit informasi mengenai jangka panjang.
- Rabun keuangan seperti diatas bukanlah problem satu-satunya yang menggangu berbagai sistem pengukuran kinerja dalam pekerjaan di masa kini. Beban yang terlalu berat dalam pengukuran dan ketidakseimbangan dalam pengukuran juga merupakan problem utama dalam sistem penilaian kinerja saat ini.
8. BSC (Balanced Scorecrds) vs Methodologi BPM (Business Performance Management) lainnya
Satu hal yang membedakan methodologi BSC dengan methodologi lainnya adalah pada penggunaannya yang memanfaatkan dua tool inovatif yang khas terhadap methodologi tersebut –yaitu strategy maps dan balanced scorecards.
referensi:
Comments