Seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah, apakah Tuhan seorang pria atau wanita?"
"Keduanya, nak, Tuhan adalah adalah keduanya."
Setelah beberapa saat anak itu datang lagi dan bertanya, "Ayah, apakah Tuhan itu hitam atau putih?"
"Keduanya, nak, kedua-duanya."
"Ayah, apakah Tuhan mencintai anak-anak?"
"Ya, nak, dia mencintai semua anak."
Si anak kembali beberapa menit kemudian dan bertanya, "Ayah, apakah Michael Jackson adalah Tuhan?"
--o0o--
Selain itu, melalui interaksi dengan model, biaya solusinya lebih murah, lebih cepat, lebih mudah, risiko lebih kecil, dsb, dsb. Banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari adanya model dan berinteraksi dengan si model ini. Akibatnya, lama-kelamaan, para pakar pemecah problem lebih nyaman selalu berinteraksi dengan si model daripada problem aktual yang sesungguhnya. Jadilah para pakar itu semakin lama semakin sibuk terus-menerus memproduksi berbagai macam model untuk berbagai macam problem di segala bidang disiplin, dan secara pelan namun pasti, lupa bahwa itu adalah sekedar model dan bukan yang aktual. Dan begitulah terus menerus berlangsung, dan lama-kelamaan sampai pada masa tertentu si model dianggap yang sebenarnya dan 'si yang sebenarnya' akhirnya terlupakan (karena sudah terlalu asyik dan terbiasa dengan si model).
Urusan tentang 'Tuhan', 'Surga', 'Keabadian', 'Yang Ada', 'Yang Tak Bernama', 'Yang Tak Terukur' dsb, dsb....juga terlalu rumit dan tak terjangkau oleh pikiran manusia. Lambat laun manusia menyederhanakannya dengan membuat berbagai macam model. Model-model ini bentuknya bermacam-macam tergantung tradisi, agama, kultur, ritual, kepercayaan yang berkembang dimana dan kapan manusia hidup. Mulai dari model yang vulgar semacam patung-patung yang dianggap dewa-dewi, raja-raja atau ratu-ratu atau tokoh-tokoh yang d-tuhan-kan di bumi, hingga bentuk yang paling lembut berupa 'tuhan-tuhan' kecil yang digambarkan dalam bentuk gambaran mental dalam pikiran manusia ini sendiri.
Lama-kelamaan pula manusia merasa asyik, nyaman, dengan kemudahan dan kesederhanaan dalam berhubungan sehari-hari dengan model-model buatannya ini. Dan lagi-lagi, lambat laun tetapi pasti, lupa bahwa itu bukan 'yang sesungguhnya' melainkan hanya model-model saja. Bahkan terlalu parahnya keterlenaan itu, sehingga apabila ada yang mencoba mengingatkan dan mengajak untuk menyadari bahwa itu adalah tuhan-tuhan kecil yang hidup sebagai model-model dalam pikiran manusia, manusia-manusia yang sudah terlanjur nyaman, asyik, dan mudah dalam berhubungan dengan model-model itu menjadi cemberut, tersinggung, dan marah.
Semakin intensif manusia berhubungan dengan tuhan-tuhan kecil (model-model mental) di dalam pikirannya sendiri, semakin melekatlah dia dengan model-model ini. Dan jangan lupa, itu bukanlah 'Yang Sesungguhnya', si sesuatu yang tak pernah mungkin terjangkau oleh pikiran manusia.
Post terkait 'Ah, Jangan Dipikir' lainnya:
Post terkait 'Ah, Jangan Dipikir' lainnya:
Perkampungan Desa Kanekes - Baduy - Lebak - Jawa Barat |
Comments