Semester yang baru saja berlalu, diisi dengan mengampu tiga kelas. Mirip dengan pola semester-semester sebelumnya, dua atau tiga kelas saja. Tiga kelas ini cukup mewakili variasi jenis kelas yang ada di Kampus Binus saat ini. Yang pertama adalah Global Class dengan mata kuliah Data and Information Management. Kelas ini harus diampu dengan menggunakan bahasa inggris dan kebetulan semester ini ada satu mahasiswa dari luar negeri (Belgia) yang ada di kelas ini. Yang kedua adalah kelas regular dengan mata kuliah yang sama - Data and Information Management. Kelas ini diampu dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Yang ketiga adalah kelas regular - DinE dengan mata kuliah Perancangan Basis Data. Kelas ini seharusnya diampu dengan menggunakan Bahasa Inggris.
Cerita tentang tiga kelas ini adalah cerita keunikan karakteristik dari tiga jenis kelas yang berbeda. Bagaimanapun juga di dalam kelas yang terjadi sesungguhnya adalah bukan saja mahasiswa belajar dari si dosen, tetapi si dosen juga belajar dari mahasiswa. Mahasiswa belajar banyak tentang isi materi perkuliahan, dosen belajar banyak tentang bagaimana seharusnya mengajar dengan situasi karakteristik kelas yang berbeda-beda. Baik mahasiswa maupun dosen, keduanya adalah mahasiswa sekalligus dosen.
Global Class - Data & Information Management
Memberi kuliah di Global Class sedikit lebih nyaman dibandingkan dengan kelas regular. Jumlah mahasiswa di kelas ini jauh lebih sedikit dibanding kelas regular. Karena jumlah mahasiswa sedikit, situasi kelas cenderung lebih kondusif dibanding kelas regular yang jumlah mahasiswanya sangat banyak. Kelas-kelas pada umumnya di desain untuk belajar mahasiswa dengan gaya belajar visual dan auditory (melihat slide di whiteboard, mendengarkan dosen bicara, dsb). Sedangkan menurut penelitian, sayangnya, jumlah mahasiswa dengan tipe visual & auditory hanya sekitar 30% saja di kelas. Sisanya yang 70% tidak akan nyaman belajar di kelas dengan gaya visual auditory, sehingga cenderung sulit mengikuti proses belajar dan bahkan beberapa cenderung menggangu mahasiswa yang lain [baca juga: Gaya Belajar Anak dalam Pendidikan: Visual-Auditori-Verbal-Kinestetik]. Untuk Global Class, karena jumlah mahasiswa jauh lebih sedikit, proses belajar memungkinkan diselingi dengan berbagai macam permainan indoor di dalam kelas. Sehingga mahasiswa dengan tipe kinestetik, verbal juga bisa cenderung merasa nyaman dengan proses belajar. Di dalam kelas regular dengan jumlah mahasiswa banyak, kelas akan cenderung penuh. Untuk membuat selingan permainan untuk mahasiswa tipe kinestetik cenderung tidak memungkinkan, karena area ruangan yang terbatas. Mahasiswa di Global Class juga cenderung memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan karakteristik mahasiswa di kelas regular. Mungkin bisa di baca di link artikel-artikel berikut: 1) Global Class - Binus University, 2) Lecturing on smart class
Kelas Regular - Data & Information Management
Kelas ini adalah kelas regular yang baik. Terlihat hampir 50% mahasiswa memiliki semangat belajar yang tinggi. Angka ini sudah lumayan tinggi kalau mengamati kelas-kelas regular lain pada umumnya. Mungkin saja (hanya sebatas dugaan atau kemungkinan), karena jam/waktu belajar di pagi hari (kelas ini adalah kelas jam 07.20-10.40), jadi kondisi badan & otak mahasiswa masih fresh sehingga lebih mudah untuk fine-tune dengan proses belajar. Mahasiswa yang visual & auditory dan yang memiliki semangat belajar tinggi mampu mengikuti proses belajar dengan baik, dan mahasiswa yang bertipe kinestetik masih malas bergerak-gerak karena masih pagi. Hanya distorsi mungkin berasal dari mahasiswa tipe verbal yang selalu ingin berbicara dan kelas belum menemukan cara untuk menampung mahasiswa seperti ini. Tetapi mungkin kalau di kelas kecil dengan jumlah mahasiswa sedikit semua jenis tipe mahasiswa lebih bisa diakomodasi (seperti di Global Class)
Kelas Regular - Perancangan Basis Data - DinE (Delivery in English)
Ini adalah kali kedua mengampu di kelas DinE (Delivery in English). Program DinE ini adalah program yang lumayan baru dan masih muda tetapi lumayan membingungkan. Secara konsep mudah dicerna, tetapi secara teknis di kelas lebih sulit dipraktikkan. Dari sisi jumlah mahasiswa di kelas, ini adalah kelas regular, bedanya hanya menggunakan pengantar bahasa inggris. Sayangnya ada dua sisi sasaran yang harus bertumbukan dan relatif lebih sulit untuk disambungkan. Sisi yang satu adalah bertujuan bagaimana mahasiswa semaksimal mungkin mampu menerima, mencerna, dan memahami isi materi perkuliahan. Sisi yang lain bertujuan bagaimana mahasiswa tidak hanya mampu menerima, memahami, dan mencerna isi materi tetapi juga mampu menjalani semua proses tersebut menggunakan bahasa inggris. Andaikan menggunakan pengantar Bahasa Indonesia kira-kira ada 50% mahasiswa di kelas yang mampu menangkap isi materi kuliah, namun ketika menggunakan Bahasa Inggris kira-kira hanya sekitar 5%-10% saja mahasiswa yang benar-benar mampu mencerna dengan baik isi materi. Ada sekitar 5%-10% mahasiswa yang sudah fasih dalam berbahasa inggris, tetapi ini berarti sebagian besar akan cenderung tidak terjamin dalam menangkap isi materi kuliah. Ada dua pertanyaan dilematis yang jawabannya harus dipilih mana yang lebih diutamakan, apakah perkuliahan akan mengutamakan penyerapan/pemahaman isi materi oleh mahasiswa dengan mengabaikan saja bahasa inggris dan tetap menggunakan Bahasa Indonesia saja? Atau, apakah proses perkuliahan akan mengutamakan penggunaan Bahasa Inggris dalam penyampaiannya sehingga isi materi tidak terserap dengan baik? Untuk meng-kompromikan situasi dilematis ini, problem bahasa akhirnya perlu dimodifikasi dengan menggunakan bahasa campuran. Mungkin ini terlihat sedikit membingungkan dan sedikit agak unik. Tetapi itu adalah realita kompromistis. Itulah proses yang terjadi. Dan itulah 'dancing' dimana situasi dilematis akan menemukan bentuknya sendiri. Selalu ada sisi-sisi unik yang berlangsung.
Bacaan terkait "Pendidikan" lainnya yang mungkin Anda senang untuk membacanya:
Floating market - Museum Angkut - Batu, Malang |
Comments