Kawan, apakah manusia harus menyangkal hidupnya untuk melengkapi status sosial kemanusiaannya?
Entahlah kawan. Tetapi marilah kita lihat beberapa kenyataan yang ada dari berbagai macam hal-hal ekstrem ini.
Ekstrem kiri:
Apakah pembohong akan mengaku kalau dirinya pembohong?
Apakah penjahat akan mengaku dirinya jahat?
Apakah seorang penjudi yang menggunakan kelicikannya untuk menang berjudi akan mengatakan bahwa dia menggunakan kelicikannya untuk menang dalam perjudian?
Apakah seorang dukun jahat yang mengabdi pada setan akan mengatakan bahwa dirinya adalah dukun yang mengabdi pada setan kepada orang yang datang kepadanya?
Kawan, bukankah diperlukan suatu penyangkalan?
Satu ekstrem yang lain lagi, kawan, ekstrem kanan:
Apakah seorang yang suci akan berani mengatakan bahwa dirinya suci?
Apakah orang yang hidup saleh akan mengatakan bahwa dia adalah orang saleh?
Kawan, sekali lagi, bukankah diperlukan suatu penyangkalan?
Kawan, engkau bisa mencari kenyataan-kenyataan yang lain. Tetapi lihatlah kawan, baik ekstrem kiri yang jahat maupun ekstrem kanan yang baik, keduanya perlu menyangkal untuk mempertahankan status sosial hidupnya. Apakah manusia yang belum pernah menyangkal hidupnya belum menjadi manusia yang lengkap? Entahlah. Tetapi itulah kenyataanya.
Sulit dimengerti kenapa dua ribu tahun yang lalu ada orang yang menangis tersedu-sedu karena hanya sekedar persoalan menyangkal. Ini membingungkan. Bukankah menyangkal adalah sesuatu yang normal? Sesuatu yang biasa?
Atau mungkin saja penyangkalan yang dia lakukan bukanlah penyangkalan terhadap diri sendiri atau demi status sosialnya? Bukan penyangkalan biasa? Tetapi dia sedang menyangkal sesuatu yang aneh. Sesuatu yang Mahatinggi. Tak terjangkau dengan pikiran dan batin manusia. Dia yang dengan kemampuan tatapan mata saja mampu membuat si penyangkal malu dan menangis tersedu-sedu. Kawan, itu hanya dugaanku saja kenapa dia menangis tersedu-sedu. Jadi, jangan terlalu percaya kalau dugaanku benar.
Entahlah kawan. Tetapi marilah kita lihat beberapa kenyataan yang ada dari berbagai macam hal-hal ekstrem ini.
Ekstrem kiri:
Apakah pembohong akan mengaku kalau dirinya pembohong?
Apakah penjahat akan mengaku dirinya jahat?
Apakah seorang penjudi yang menggunakan kelicikannya untuk menang berjudi akan mengatakan bahwa dia menggunakan kelicikannya untuk menang dalam perjudian?
Apakah seorang dukun jahat yang mengabdi pada setan akan mengatakan bahwa dirinya adalah dukun yang mengabdi pada setan kepada orang yang datang kepadanya?
Kawan, bukankah diperlukan suatu penyangkalan?
Satu ekstrem yang lain lagi, kawan, ekstrem kanan:
Apakah seorang yang suci akan berani mengatakan bahwa dirinya suci?
Apakah orang yang hidup saleh akan mengatakan bahwa dia adalah orang saleh?
Kawan, sekali lagi, bukankah diperlukan suatu penyangkalan?
Kawan, engkau bisa mencari kenyataan-kenyataan yang lain. Tetapi lihatlah kawan, baik ekstrem kiri yang jahat maupun ekstrem kanan yang baik, keduanya perlu menyangkal untuk mempertahankan status sosial hidupnya. Apakah manusia yang belum pernah menyangkal hidupnya belum menjadi manusia yang lengkap? Entahlah. Tetapi itulah kenyataanya.
Sulit dimengerti kenapa dua ribu tahun yang lalu ada orang yang menangis tersedu-sedu karena hanya sekedar persoalan menyangkal. Ini membingungkan. Bukankah menyangkal adalah sesuatu yang normal? Sesuatu yang biasa?
Atau mungkin saja penyangkalan yang dia lakukan bukanlah penyangkalan terhadap diri sendiri atau demi status sosialnya? Bukan penyangkalan biasa? Tetapi dia sedang menyangkal sesuatu yang aneh. Sesuatu yang Mahatinggi. Tak terjangkau dengan pikiran dan batin manusia. Dia yang dengan kemampuan tatapan mata saja mampu membuat si penyangkal malu dan menangis tersedu-sedu. Kawan, itu hanya dugaanku saja kenapa dia menangis tersedu-sedu. Jadi, jangan terlalu percaya kalau dugaanku benar.
Comments