Manusia itu sering kali mirip kodok yang direbus.
Seekor kodok yang ditaruh di dalam panci berisi air dari kolam tempat tinggalnya, kodok itu akan tetap dalam panci, tanpa bergerak, sementara airnya pelan-pelan dipanaskan. Kodok itu tidak bereaksi terhadap meningkatnya suhu dalam panci serta perubahan di sekelilingnya. Lalu saat airnya mendidih, kodok itu pun mati, dalam keadaan gendut dan bahagia.
"Tapi seandainya kodok tersebut dimasukkan ke dalam sepanci air yang sudah mendidih, kodok itu akan langsung melompat keluar dengan kulit terkelupas, tetapi tetap hidup!"
Begitu juga dengan manusia. Seringkali tidak sensitive terhadap perubahan yang perlahan-lahan. Namun sensitive terhadap adanya perubahan yang drastis. Contoh, orang sangat sensitive terhadap perubahan dari keadaan gelap ke keadaan terang dengan lampu 5 watt. Namun tidak sensitive dengan perubahan lampu dari 5 watt ke 10 watt. Contoh lain lagi, orang sangat tertarik dan mencermati berita tentang kecelakaan pesawat terbang yang menewaskan 100 orang penumpangnya dalam sekali kecelakaan itu. Namun orang tidak sensitive terhadap kematian ribuan, puluhan ribu, atau bahkan ratusan ribu orang yang diakibatkan kecelakaan motor di jalan setiap tahunnya.
Begitu pula dengan orang-orang yang tinggal di Jakarta. Tidak sensitive dengan perubahan yang terus berjalan. Tidak sensitive dengan udara yang semakin kotor. Jalanan yang semakin macet. Banjir yang semakin melebar dan meninggi. Populasi yang semakin sesak. Kejahatan yang meningkat. Kesehatan penduduk yang semakin turun. Stress yang semakin tinggi. Toleransi yang semakin menipis. Kekerasan yang semakin meningkat.
Ketika semua bencana ini menyatu hingga titik didihnya, manusia di dalamnya akan mati dalam keadaan sejahtera dan kaya raya.
Comments