"Aku ingin memahami kepedihan."
"Kemarin kau mengalaminya dan mendapatkan fakta bahwa sensasi itu membawamu pada kenikmatan. Kau juga mengalaminya hari ini dan mendapatkan kedamaian. Itulah mengapa tadi aku wanti-wanti padamu: Jangan kaujadikan itu kebiasaan, karena kau akan mudah ketagihan; pengalaman tadi mirip candu yang kuat. Dia ada di dalam keseharian kita, di dalam penderitaan yang kita pendam dalam hati, pada setiap pengorbanan yang kita lakukan, dan kita cenderung menyalahkan cinta setiap kali impian-impian kita hancur berkeping.
Kepedihan akan menakutkan jika dia menampakkan wajah aslinya, tapi sangat menggoda jika dia hadir berkedok pengorbanan atau kebajikan. Atau sebagai kepengecutan.
Sekuat apapun kita menolaknya, manusia akan senantiasa bersentuhan dengan rasa sakit, bermain-main dengannya, atau bahkan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita."
"Omong kosong. Mana mungkin ada orang ingin menderita?"
"Kalau kau merasa bisa hidup tanpa penderitaan, berarti kau sudah maju selangkah, tapi jangan harap orang akan memahamimu. Benar, tak ada orang yang sudi menderita, tapi pada kenyataannya semua orang mencari kepedihan dan pengorbanan, baru sesudah itu mereka mendapatkan pembenaran, merasa dirinya suci murni, pantas dihormati anak-anaknya, suami dan para tetangganya, dan dikasihi Tuhan. Kita tak usah terlalu memikirkannya sekarang. Cukuplah kau tahu bahwa yang menjaga kehidupan terus bergulir bukanlah perjuangan manusia dalam mencari kenikmatan, melainkan usaha mereka untuk melepaskan segala hal yang mereka anggap penting."
"Apakah seorang tentara terjun ke medan peperangan untuk membinasakan musuh-musuhnya? Tidak, dia pergi berperang untuk mati demi negaranya. Apakah seorang istri ingin menunjukkan betapa dia bahagia? Tidak, dia hanya ingin menunjukkan betapa sebagai perempuan dia sudah berbakti dan menderita demi membahagiakan lelakinya. Apakah si lelaki pergi bekerja demi menemukan kepuasan dirinya? Tidak, dia memeras keringat dan air mata demi menyejahterakan keluarganya. Begitulah sejatinya: anak-anak yang rela melepas impiannya demi memuaskan ambisi orangtuanya, orangtua yang mengorbankan hidupnya demi membahagiakan anak-anaknya; pokoknya penderitaan dan kepedihan digunakan sebagai alasan untuk membenarkan sesuatu yang hanya mendatangkan kebahagiaan, CINTA."
~ eleven minutes~
Paulo Coelho
"Kemarin kau mengalaminya dan mendapatkan fakta bahwa sensasi itu membawamu pada kenikmatan. Kau juga mengalaminya hari ini dan mendapatkan kedamaian. Itulah mengapa tadi aku wanti-wanti padamu: Jangan kaujadikan itu kebiasaan, karena kau akan mudah ketagihan; pengalaman tadi mirip candu yang kuat. Dia ada di dalam keseharian kita, di dalam penderitaan yang kita pendam dalam hati, pada setiap pengorbanan yang kita lakukan, dan kita cenderung menyalahkan cinta setiap kali impian-impian kita hancur berkeping.
Kepedihan akan menakutkan jika dia menampakkan wajah aslinya, tapi sangat menggoda jika dia hadir berkedok pengorbanan atau kebajikan. Atau sebagai kepengecutan.
Sekuat apapun kita menolaknya, manusia akan senantiasa bersentuhan dengan rasa sakit, bermain-main dengannya, atau bahkan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita."
"Omong kosong. Mana mungkin ada orang ingin menderita?"
"Kalau kau merasa bisa hidup tanpa penderitaan, berarti kau sudah maju selangkah, tapi jangan harap orang akan memahamimu. Benar, tak ada orang yang sudi menderita, tapi pada kenyataannya semua orang mencari kepedihan dan pengorbanan, baru sesudah itu mereka mendapatkan pembenaran, merasa dirinya suci murni, pantas dihormati anak-anaknya, suami dan para tetangganya, dan dikasihi Tuhan. Kita tak usah terlalu memikirkannya sekarang. Cukuplah kau tahu bahwa yang menjaga kehidupan terus bergulir bukanlah perjuangan manusia dalam mencari kenikmatan, melainkan usaha mereka untuk melepaskan segala hal yang mereka anggap penting."
"Apakah seorang tentara terjun ke medan peperangan untuk membinasakan musuh-musuhnya? Tidak, dia pergi berperang untuk mati demi negaranya. Apakah seorang istri ingin menunjukkan betapa dia bahagia? Tidak, dia hanya ingin menunjukkan betapa sebagai perempuan dia sudah berbakti dan menderita demi membahagiakan lelakinya. Apakah si lelaki pergi bekerja demi menemukan kepuasan dirinya? Tidak, dia memeras keringat dan air mata demi menyejahterakan keluarganya. Begitulah sejatinya: anak-anak yang rela melepas impiannya demi memuaskan ambisi orangtuanya, orangtua yang mengorbankan hidupnya demi membahagiakan anak-anaknya; pokoknya penderitaan dan kepedihan digunakan sebagai alasan untuk membenarkan sesuatu yang hanya mendatangkan kebahagiaan, CINTA."
~ eleven minutes~
Paulo Coelho
Comments