Minggu, 11 September 2005
Pontianak Post
Oleh; Supadi, S.Ag
Bila orang sungguh-sungguh bijaksana,
Pasti akan merenungkan senantiasa
Bahwa maut dalam kekuatan yang dahsyat
Dapat merenggut manusia setiap saat.
Visuddhi Magga
Membicarakan soal kematian adalah sesuatu yang tidak lazim, atau kita menyebut sesuatu yang tidak menyenangkan. Seolah-olah kalau kita membicarakan kematian, kematian itu sudah dekat dengan kita. Jarang kita mendengar atau barang kali tidak pernah ada orang yang kumpul-kumpul, apakah di warung kopi, di sekolah-sekolah, di kantor-kantor atau dimana saja yang, ngobrol asyik tentang kematian. Hampir tidak pernah kita mendengarnya? Mengapa obrolan tentang kematian ini jarang kita dengar? Karena kematian dianggap sesuatu yang menakutkan, sesuatu yang membuat orang gentar menghadapinya? Sabbe bhayanti maccuno, demikian sebuah kalimat dalam bahasa Pali disebutkan yang berarti semua makhluk hidup ngeri menghadapi kematian. Siapa orangnya yang tidak gentar dan takut menghadapi kematian? Hampir sebagian besar orang takut menghadapinya. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau kematian, tidak pernah dijadikan topik pembicaraan. Tapi kita jangan lupa... bahwa kita juga merupakan sasaran dari kematian, kita tidak akan pernah lolos dari kematian. Kalau kita menyadari kondisi ini mestinya kita justru mencari cara terbaik untuk menghadapi kematian, bukan menghindarinya. Kemanapun kita berlari, kemanapun kita pergi bersembunyi, kematian tetap akan menemukan kita. Ini sebuah fakta yang harus kita hadapi.
Kematian adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang terjadi secara alamiah karena kita dilahirkan, semua yang lahir harus menghadapi kematian. Lalu mengapa hampir setiap orang takut menghadapi kematian? Bukan hanya takut pada kematian diri kita sendiri, tetapi kita juga takut akan kematian orang tua kita, saudara kita atau keluarga kerabat kita? Tentunya ada sebabnya.
Ketika Sang Buddha meninggal dunia, pada usia 80 tahun di Kusinara, banyak para siswanya yang menangis, bersedih, ada yang bergulung-gulung di atas tanah, dan ada yang teriak-teriak. Bahkan para bhikkhu yang sudah terlatih pun banyak yang bersedih, meratap, mengapa Sang Buddha cepat pergi meninggalkan dunia ini? Mereka sulit menerima kenyataan itu. Sering kita melihat bahwa dimana ada kematian, pasti di situ ada kesedihan, ratap tangis dan air mata. Apakah keadaan seperti itu tidak dapat kita ubah? Apakah harus seperti itu ketika kita menghadapi kematian terhadap keluarga atau kerabat kita? Jika kita telah memahami Dhamma Sang Buddha dengan benar mungkin hal itu tidak perlu terjadi, karena hal itu tidak ada manfaatnya, mereka yang sudah mati tidak akan hidup kembali dengan ratapan dan air mata kesedihan. Justru kita harus mencari sebabnya mengapa ketakutan itu muncul ketika kematian akan datang. [Baca juga: Pria yang meludahi wajah Buddha]
Bagi mereka yang sudah menemukan jalan atau cara menghadapi kematian, tentu tidak akan merasa takut terhadap kematian, tetapi bagi mereka yang belum menemukan jalannya tentu kematian adalah sesuatu yang menakutkan.
Dalam Anguttara Nikaya. Catukka Nipata, disebutkan adanya 4 (empat) sebab yang menimbulkan ketakutan menghadapi kematian. Dan ketakutan ini hanya muncul pada mereka yang belum mencapai kesucian. Empat sebab itu adalah : 1) karena tidak terbebas dari nafsu keinginan indera, tidak bebas dari nafsu dan cinta terhadap kesenangan-kesenangan indera, tidak bebas dari kehausan dan kerinduan mengejarnya. Ketika sebuah penyakit serius datang. Ia berpikir ' oh .. kesenangan-kesenangan itu akan meninggalkan aku, dan aku akan meninggalkan kesenangan-kesenangan itu. Perlu kita sadari bahwa setiap saat lima pintu indria kita selalu terbuka, dan secara alamiah kelima indria kita itu menyenangi sesuatu yang menarik, kemudian karena sudah terjadi kontak, maka kontak itu akan ada dalam ingatan, terekam dengan baik dalam ingatan, adanya rekaman yang baik ini, maka ketika obyek yang menarik itu muncul kembali dalam pikiran, pikiran akan memerintahkan untuk mencarinya. Karena itu yang membuat jadi senang. Nah.... kalau orang tidak dapat meninggalkan kesenangan itu maka ia akan mati dalam ketakutan. 2) karena tidak terbebas dari nafsu dan cinta terhadap tubuh jasmani ini, tidak terbebas dari kehausan dan kerinduan terhadap tubuh. Ada orang yang bangga dengan tubuh jasmaninya, maka tidak mengherankan ada orang yang rela mengeluarkan jutaan rupiah untuk merubah penampilannya, untuk merubah bentuk tubuhnya agar tetap tampil menarik. Kecintaan terhadap tubuh ini, juga merupakan sebab munculnya ketakutan, ia takut tubuh jasmaninya menjadi rusak. 3) karena belum melakukan apa pun yang bajik dan bermanfaat, yang belum membuat perlindungan bagi dirinya sendiri; tetapi ia telah melakukan perbuatan yang jahat. Istilah kerennya, ia belum sempat bertobat tapi kematian sudah datang menjemputnya. Ada sebagian orang yang berpandangan, hidup ini yang penting dan dicari dulu adalah uang, asal punya uang banyak semuanya akan beres, pokoknya kumpulkan uang banyak-banyak dulu. Bagaimanapun caranya. Nanti kalau sudah cukup, baru berbuat kebaikan, tapi apa yang terjadi jika dia tidak pernah merasa cukup, tapi kematian sudah datang, pasti ketakutan akan muncul, apa lagi cara untuk mengumpulkan uang itu dengan cara yang tidak benar. 4) karena memiliki keraguan dan kebingungan tentang Dhamma yang baik dan belum sampai pada kepastian di dalamnya. Ada seseorang yang dalam kehidupan ini, ingin mencari makna kehidupan, yang dulunya tidak pernah terlintas dalam pikiranya. Ia mulai menyadari setelah mendengar atau membaca buku-buku. Lalu ia berusaha untuk menemukan kebenaran itu, tetapi belum sampai ia mengerti atau memahami, apa yang ia dengar atau ia baca, keburu raja kematian sudah menghampirinya, maka orang seperti ini juga akan menghadapi kematian.
Jika kita tidak ingin mengalami ketakutan dalam menghadapi kematian, kembangkanlah kebijaksanaan kita. Cobalah memahami, apa kematian itu, dari mana asalnya, mengapa kematian itu bisa terjadi? Dengan memahami seluk beluk kematian, niscaya kita tidak akan takut lagi terhadap kematian. Ketakutan itu terjadi karena kebodohan batin kita sendiri. **
sumber: http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Buddha&id=98218
Post lainnya yang direkomendasikan untuk Anda:
Comments