Teknologi dan Dunia Pendidikan

“Mereka, siswa-siswa itu, tidak bisa membersihkan batu tulis dengan benar, apa yang akan mereka lakukan ketika mereka nanti kehabisan kertas?” Begitulah kekhawatiran seorang kepala sekolah di Amerika pada tahun 1815.

Saat ini, seringkali para orangtua dan guru juga dipenuhi dengan kekhawatiran yang sama terhadap anak didik mereka ketika mereka menggunakan berbagai piranti teknologi digital dalam proses belajar mereka. Kekhawatiran yang berlebihan secara tidak sadar cenderung menumbuhkan demotivasi dan suasana yang tidak kondusif terhadap proses belajar anak. Namun demikian, begitulah kecenderungan respon orangtua, guru, termasuk kita semua, dalam menghadapi perubahan jaman. 

Pada kenyataannya, teknologi berkembang terus dan justru cenderung semakin cepat. Cuplikan cerita kekhawatiran sang kepala sekolah di masa lampau mengenai kehabisan kertas belum juga terwujud, sudah lahir teknologi baru yang lebih modern dan menggantikan cara menulis di atas kertas. Para siswa dan guru saat ini semakin jarang menulis di atas kertas. Mereka kini menulis dengan menggunakan berbagai media digital entah komputer, tablet, smartphone, dan sebagainya.

Kehadiran teknologi digital yang sangat cepat menyusup ke semua bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan, membuat banyak orangtua dan guru mulai cemas tentang proses belajar anak didik mereka. Anak-anak jaman sekarang begitu fasih menggunakan berbagai peralatan digital. Mereka seperti tak bisa lepas dari berbagai macam teknologi itu. Apakah teknologi saat ini, seperti internet, smartphone, facebook, twitter, blog, whatsapp messanger, blackberry messanger akan membantu atau sebaliknya justru menggangu dan menghambat proses belajar anak? 

Apabila kita menengok sekilas profil aktivitas mereka sehari-hari akan kelihatan bahwa anak-anak ini terlihat lebih tertarik menggunakan berbagai macam teknologi itu daripada belajar. Mereka sekarang cenderung terlihat lebih malas. Kecanduan gadget dan game. Banyak dampak yang dipandang buruk oleh para orangtua dan guru akan mengancam proses belajar anak. Tetapi mereka jauh lebih cepat dalam menemukan berbagai macam informasi. Apakah teknologi akan menghancurkan proses belajar para siswa di sekolah? Ini pertanyaan krusial bagi para orangtua dan guru pendidik di sekolah. Kekhawatiran seperti ini tak jauh berbeda dengan penggalan kisah kekhawatiran kepala sekolah di Amerika pada tahun 1815 diatas. [Baca juga: Sekolah Tidak Kompatibel Dengan Teknologi?]


Menengok Singapura

Singapura adalah salah satu contoh nyata keberhasilan dalam dunia pendidikan. Pada tahun 1965 ketika memisahkan diri dari Malaysia dan menyatakan berdaulat, Singapura diprediksi akan menjadi sebuah negara gagal. Tiga dekade kemudian, dunia terkejut dengan pencapaian Singapura. Singapura menjadi negara yang sangat maju dan merupakan salah satu negara yang mendapatkan PDB (produk domestik bruto) tertinggi di dunia. Kalau kita pergi ke Singapura dan mengamati suasana di sana, akan nampak bahwa Singapura adalah negara yang mengadopsi berbagai macam teknologi maju dan mutakhir hampir di semua bidang kehidupan, termasuk di bidang pendidikan. Sekolah-sekolah di Singapura juga berhasil menduduki daftar sekolah-sekolah terbaik di dunia. Professor Kishore Mahbubani, dekan di Lee Kuan Yew School of Public Policy, mengatakan bahwa keberhasilan Singapura saat ini adalah dikarenakan, segera setelah berdaulat, Singapura melakukan investasi yang besar pada dunia pendidikan di semua tingkat, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah, politeknik, dan universitas. Investasi dalam pendidikan adalah kunci keberhasilan Singapura.

Pertanyaan menarik berikutnya adalah bagaimana Singapura menjalankan model pendidikannya di abad 21 ini ketika teknologi menyerbu dengan sangat kencang? Pertanyaan ini seharusnya juga menjadi pertanyaan reflektif bagi para guru pendidik di Indonesia. 

Seorang kepala sekolah menengah di Singapura dimana sekolahnya adalah salah satu yang terbaik di dunia mengatakan, “Sangatlah penting untuk membuat sekolah sebagai sesuatu yang menyenangkan. Ketika sekolah terasa sebagai sesuatu yang menyenangkan, kita tidak perlu menyuruh dan memaksa anak untuk bangun pagi yang kemudian akan berkata, mengapa kita harus ke sekolah lagi? Karena itu, kita perlu merangkul teknologi karena teknologi akan membuat proses belajar lebih menarik. Saya percaya ketika anak-anak merasa engaged dengan pembelajaran melalui teknologi yang sedang mereka gunakan, ketika anak-anak merasa senang dan tertarik, maka disitulah proses pembelajaran sedang berlangsung.”

Anak-anak jaman ini adalah anak-anak dari suatu dunia yang sangat berbeda. Untuk benar-benar bisa menjangkau mereka, guru perlu cekatan dan fasih dengan teknologi. Bila tidak cekatan dan fasih dengan teknologi, maka guru akan kehilangan mereka di sekolah dalam arti ditinggalkan, diacuhkan, dan diremehkan. Ini adalah jaman yang sungguh-sungguh berbeda dengan jaman para orangtua dan guru dulu ketika mereka belajar di sekolah.

Pada awal tahun 1990an guru adalah pemegang monopoli pengetahuan. Mereka datang ke kelas untuk memberikan pengetahuan tersebut kepada para siswa. Tetapi saat ini, pengetahuan bukan lagi monopoli para guru karena para siswa bisa mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, dan karena itu peran guru saat ini beralih sebagai fasilitator. Itu artinya mereka memfasilitasi para siswa mengenai dimana mereka bisa mendapatkan pengetahuan yang benar, bagaimana mereka mensitesakan berbagai macam hal, bagaimana mereka mencerna dan memahami informasi yang mereka dapatkan.

Di Singapura, para guru melihat bahwa teknologi sebagai sesuatu yang sangat penting dan melihat peluang bagaimana mereka bisa mendongkrak teknologi untuk membuat dampak yang signifikan pada instruksi-instruksi di kelas. Sebagai contoh, seorang guru ingin menerapkan metode belajar ala sokrates dengan model tanya-jawab, apabila di dalam kelas ada 40 siswa, tidaklah mungkin meminta 40 siswa tersebut untuk bertanya 40 pertanyaan dalam saat yang bersamaan. Dengan menggunakan piranti aplikasi pengirim pesan instant seperti whatsapp, blackberry messanger, atau aplikasi instant messaging lainnya, guru bisa membuka 40 jendela antarmuka untuk 40 siswa itu. Anak-anak itu bisa bertanya 40 pertanyaan pada saat yang bersamaan dan guru bisa melihat bagaimana cara berpikir mereka pada teknologi yang sedang mereka gunakan. Para siswa akan sangat senang karena mereka menggunakan gadget dan berbagai piranti yang mereka sudah biasa gunakan. Tidak melulu hanya dengan menggunakan ballpoint dan pensil. 

Teknologi web 2.0 seperti wiki, facebook, twitter, blog, apabila kita cermati, maka kita akan menemukan suatu kultur yang partisipatif di sana. Ini membutuhkan kolaborasi masif antar pengguna untuk menghasilkan suatu pengetahuan. Dan mereka saat ini mengadopsi dan mengeksploitasi berbagai teknologi itu. Jadi anak-anak itu saat ini tidak lagi menjadi konsumen pengetahuan tetapi mereka juga merupakan bagian dari produsen pengetahuan. 

Faktor keberhasilan lain dalam dunia pendidikan adalah bahwa pengembangan professional berkelanjutan bagi para tenaga pendidiknya. Di Singapura banyak sekolah membentuk komunitas belajar professional sehingga para guru pendidik dapat berbagi praktik terbaik dan pelajaran terbaik dengan rekan-rekan mereka sendiri dan juga dengan orang lain di seluruh di dunia. Ini semua didorong oleh pemanfaatan teknologi secara optimal. Dampaknya, guru-guru di Singapura selalu mampu menciptakan materi-materi yang menarik dengan memanfaatkan teknologi. Materi pelajaran sejarah, misalnya, mereka mengadopsi aplikasi digital yang menarik dan mampu membuat para siswa seolah-olah berinteraksi langsung didalamnya secara virtual. Mereka juga menerapkan kolaborasi antar siswa dengan menggunakan berbagai aplikasi virtual seperti ‘second-life’. Bahkan aplikasi game minecraft yang sangat popular akhir-akhir ini pun diadopsi dalam proses belajar. Mereka juga punya semacam divisi yang memberikan support penuh untuk pengembangan aplikasi-aplikasi digital yang digunakan untuk belajar para siswa sehingga para guru tidak terlalu kesulitan bila mereka ingin mengembangkan aplikasi tertentu untuk materi mereka.

Mindset Guru

Teknologi akan selalu datang dan bergerak maju. Ia pun seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Apakah itu hal yang baik atau buruk, atau, apakah ia memberi tekanan atau peluang, itu tergantung dari cara kita melihat dan merespon. Manusia yang terlatih untuk melihat setiap peluang dibalik tekanan, akan menganggapnya sebagai sesuatu yang menarik. Mindset untuk selalu melihat peluang dibalik setiap tekanan seperti ini seharusnya dimiliki juga oleh para guru pendidik di Indonesia. Selalu ada sesuatu yang baru untuk dipelajari. Guru dengan mindset seperti itu tidak akan pernah berhenti belajar dan mencari setiap kemungkinan peluang. Ia akan selalu bergerak maju, selalu mendorong dan menggeser batas kemampuan yang dimilikinya, selalu mencoba untuk menemukan hal-hal baru, cara-cara baru dalam mengajar. Dan guru harus selalu menemukan cara baru untuk terhubung dengan anak-anak dan turut memberi mereka tantangan.

Bagi para guru, adalah penting untuk benar-benar memahami bagaimana dunia telah berubah. Dan cara mendidik bukanlah sesuatu yang stagnan. Jadi, guru seharusnya menyadari bahwa mereka tidak bisa mendidik dengan cara yang sama seperti ketika mereka dulu dididik sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu. Bahwa mereka harus sangat adaptif dalam hal-hal baru yang harus dihadapi. Dan apabila mereka menjalankannya dengan baik, maka mereka akan tahu bagaimana mereka akan membuat anak-anak merasa engaged dan tertarik. Dan ketika guru berhasil membuat anak-anak merasa engaged dan tertarik, disitulah pembelajaran yang sesungguhnya terjadi.

Baca juga:

Comments

Popular posts from this blog

10 Pepatah Jawa Kuno Untuk Menjalani Hidup Yang Semakin Kompleks

Kumohon Ya Tuhan MB 218